Minggu, 16 September 2018

KEWAJIBAN MENDIDIK ANAK DENGAN ADAB DAN ILMU


KEWAJIBAN MENDIDIK ANAK DENGAN ADAB DAN ILMU
SERTA BERBUAT ADIL DI ANTARA MEREKA

(Studi Terhadap Konsep Pendidikan Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah (691-751 H) Dalam Kitab Tauhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud)


Oleh:  Misjaya


A.    Pendahuluan

Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, awalnya pendidikan berlangsung secara sederhana, dengan masjid sebagai lembaga pendidikan atau pusat pembelajaran. Al-Qur'an dan hadits sebagai kurikulum utama dan Rasulullah sendiri berperan sebagai guru dalam proses pendidikan tersebut.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, Islam terus berkembang. Kurikulum pendidikan yang awalnya terbatas pada al-Qur'an
dan hadits berkembang dengan dimasukkannya ilmu-ilmu baru yang berasal
dari luar Jazirah Arab yang telah mengalami kontak dengan Islam baik dalam bentuk peperangan maupun dalam bentuk hubungan damai.
Perkembangan kegiatan kependidikan, pada masa klasik Islam telah membawa Islam sebagai sebuah peradaban besar yang mempengaruhi  kehidupan dunia saat itu. Permasalahan pun muncul,  ketikan generasi berikutnya kurang memanfaatkan apa yang telah dicapai oleh para pendahulunya. Akibatnya prestasi yang telah diraih oleh para ulama berupa ilmu pengetahuan dikuasai oleh Barat. Hal tersebut disebabkan karena mereka mau mempelajari ilmu yang dimiliki oleh umat Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya lebih lanjut. Pada akhirnya, banyak sarjana muslim yang belajar ke barat.
Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan kaum muslimin. Apalagi dengan munculnya segelintir orang yang menganggap dirinya cendekiawan Muslim, tapi hakekatnya adalah perpanjangan tangan kaum sekularis. mereka adalah sekumpulan orang yang terkooptasi oleh kekeliruan konsep barat yang menghilangkan nilai ketuhanan (spiritual) dalam segala sisi kehidupan termasuk ilmu dan pendidikan.
Berkaitan dengan permasalahan di atas penelusuran kembali terhadap konsep atau pemikiran kependidikan yang berkembang di kalangan umat Islam pada masa klasik sangat penting dan bermanfaat.
Pengkajian terhadap kitab klasik yang memuat pemikiran-pemikiran Ibnu Quyyim al-Jauziyah (691-751), telah banyak dilakukan para pakar pendidikan dan peneliti-peneliti lainnya di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut  merupakan usaha yang perlu dilestarikan. Salah satu tujuan penulisan makalah ini adalah mengeksplorasi pesan-pesan penting yang terdapat dalam kitab “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud”. Kitab ini memuat materi pendidikan dari sebelum kelahiran sampai mati (long life education).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah seorang guru besar yang mengkader para ulama terkenal, seperti Al-Dzahaby (w.748H), Ibnu Katsir (w.774H), Ibnu Rajab (w.795H). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menguasai berbagai macam disiplin ilmu, sebagai mana yang telah diketahui oleh masyarakat luas lewat tulis-tulisannya.
Dalam penulisan ini, pemakalah hanya fokus pada bab “Wajibnya mendidik anak-anak dengan adab, mengajari mereka serta berbuat adil di antara mereka” dalam bukunya yang berjudul “Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud”. 

B.     Ibnu Qayyim dan kitabnya “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud”

1.      Sekilas Tentang Ibnu Qoyyim[1]

Namanya adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz bin Makki, Zainuddin Az-Zur’i Ad-Dimasqi Al-Hambali.
Nama kuniyah atau panggilannya adalah Abu Abdillah, sedang nama laqab atau julukan atau gelarnya adalah Syamsuddin.
Dia dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyya yang diringkas dengan nama Ibnu Qayyim, dan nama inilah yang dikenal dari pada sebutan Ibnu Qayyim al-Jauziyya.
 Bakar bin Ayyub Az-Zar’i adalah Qayyim (kepala) madrasah Al-Jauziyyah[2] di Damaskus, demikianlah keluarga dan keturunannya terkenal dengan sebutan tersebut dan salah satu dari mereka terkenal atau biasa dipanggil dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyya.
Adapun Al-Jauzi adalah nisbat kepada sebua nama tempat di Bashrah. Dan, ada yang mengatakan bahwa nama ini dinisbatkan kepada kepompong (ulat sutra) dan penjualnya.
Bakar Abu Zaid mengatakan, “kitab-kitab tarajum (biografi) sepakat mengatakan bahwa kelahiran Ibnu Qayyim al-Jauziyya adalah pada tahun 691 Hijriyah.”
Muridnya yang bernama Ash-Shafadi menuturkan bahwa kelahirannya secara tepat adalah pada hari ke tujuh dibulan safar tahun 691 Hijriyah.
Pendapat lain mengatakan Ibnu Qayyim al-Jauziyya dilahirkan pada tanggal 7 Shafar 691 Hijriyah[3] atau 4 februari 1292 M di sebuah desa pertanian yang disebut Hauran. Desa ini berada sekitar 55 mil, sebelah tenggara kota Damaskus, Suriah. Kemudian ia merantau ke Damaskus untuk mencari ilmu di sana.[4]
Para ulama dalam menyebutkan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyya dan ayahnya adalah mereka berdua berkebangsaan Az-Zar’i dan kemudian pindah ke Damasqus.
Dari sini dapat diketahui bahwa istilah ini (aslinya berkebangsaan Az-Zar’i dan kemudian pindah ke Damasqus) digunakan dengan maksud bahwa tempat kelahirannya adalah tempat yang pertama sedang tempat yang kedua adalah tempah menetap mereka.
Namun, bisa juga maksud mereka menggunakan istilah tersebut adalah bahwa ayah dan nenek moyangnya berasal dari daerah pertama (Az-Zar’a) kemudian mereka pinda ke tempat kedua (Damasqus).[5]
Walaupun dia mempunyai umur yang relatif singkat yaitu berkisar enam puluh tahun namun waktu yang sesingkat itu dia telah membuktikan bahwa dia adalah penuntut ilmu yang berhasil.
Guru-gurunya adalah: Ayahnya sendiri Abu Bakar bin Ayyub Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Abdiddaim, Ibnu Taimiyyah tetapi ia tidak jarang berbeda pendapat dengan gurunya Ini, menurutnya siapa pun boleh berijtihad selama dia memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam hal itu[6], Asy-Syihab Al-‘Abir, Ibnu Asy-syirazi, al-Majd Al-Harrani, Ibnu Maktum, Al-Kullali, Al-Baha’ bin Asakir, Al-Hakim Sulaiman Taqiyuddin Abu Al-Fadl bin Hamzah.
Juga, Syarafuddin bin Taimiyyah saudara Syaikhul Islam, Al-Mutha’im, Fatimah binti Jauhar, Majduddin At-Tunisi, Al-Badar bin Jam’ah, Abu Al-Fath Al-Ba’labaki, Ash-Shaf Al-Hindi, Az-Zamlakani, Ibnu Muflih, Al-Mizzi.
Adapun murid-muridnya adalah: Al-Burhan bin al-Qayyim Al-Jauzi, anaknya bernama burhanuddin, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, Syarafuddin Al-Qayyim, anaknya bernama Abdullah bin muhammad, As-Subki, Ali bin Abdulkafi bin Ali bin Tamam As-Subki, Adz-Dzahabi, Ibnu al-Hadi, An-Nablusi, Al-Ghazi dan Al-Fairuz Abadi Al-Mukri.
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah seorang yang pandai dalam masalah mazhab, seorang brilian, sering memberikan fatwa, sering bersama Taqiyuddin bin Taimiyyah, pandai dalam ilmu-ilmu keislaman, menguasai tentang tafsir yang tiada tandingannya, pandai dalam bidan ushuluddin, hadits, maknah dan fikihnya serta rahasia-rahasia pengambilan hukum.
Dia juga mahir dalam ilmu fikih dan ushul fikih, Sejak kecil beliau telah belajar bahasa Arab[7], ilmu kalam, nahwu. Ia juga pandai ilmu bigrafi, pandai dalam mencerna perkataan ahli sufi, isyarat dan rahasia-rahasianya. Dalam bidang ilmu-ilmu di atas, dia sangat menguasainya.
Ibnu katsir mengatakan, “Dia belajar hadits, konsen menuntut ilmu dan pandai dalam beragam bidang ilmu, terutama dalam badang tafsir, hadits dan ushul. Dia, ketika Ibnu Taimiyyah kembali dari mesir pada tahun 712 Hijriyah, dialah orang yang selalu menyertainya sampai Ibnu Taimiyah wafat. Dari Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim menyerap ilmu, menggantikan sang guru mengajar sehingga dia mendapatkan tambahan ilmu yang luar biasa banyaknya, sehingga murid-muridnya pun banyak yang keluar masuk dari rumahnya siang maupun malam.
Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan, “Ibnu Qayyim adalah seorang yang rajin beribadah dan melakukan tahajjud, seorang yang shalatnya panjang, banyak dzikir dan sangat tinggi mahabbah (kecintaannya kepada Allah).
Ibn al-Qayyim meninggal pada malam kamis tanggal 13 rajab saat berkumandang adzan shalat isya’ pada tahun 751 Hijriyah. Dia meninggal pada usia yang ke 60 tahun. Jenazahnya dishalatkan pada hari berikutnya setelah shalat dzuhur di masjid Al-Umawi, kemudian dishalati di masjid Jarah dan banyak peziarah yang mengiringi upacara penguburannya.
Ibnu Katsir barkata, “yang mengiringi jenazahnya membludak. Diikuti oleh para qadhi, para pejabat, orang-orang shaleh, baik yang khusus maupun umum. Dan, orang-orang berebutan mengangkat peti jenezahnya.”
Ia dimakamkan di Damaskus di pekuburan Al-Bab Ash-Shagir di samping makam kedua orang tuanya. Disebutkan oleh sebagian murid-muridnya, bahwa sebelum meninggal dia bermimpi bertemu dengan Ibn Taimiyah
Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada sang syaikh tentang tempatnya nanti. Dan, Ibn Taimiyah memberikan isyarat akan ketinggian tempatnya nanti diatas tempat para pembesar ulama. Ibn Taimiyah lalu berkata kepadanya, “Dan kamu sebentar lagi menyusul kami. Akan tetapi sekarang kamu berada setingkat dengan Ibnu Khuzaimah.” Wallahu a’lam.[8]
Ia memiliki banyak tulisan (kitab) yang berkualitas tinggi, di antaranya adalah kitab “Tuhfatul Maudud Fii Ahkamil Maulud”.

2.      Sekilas Tentang Kitab “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud”.

Ditulis sebagai hadiah dari sang ayah, yakni Ibnu Qayyim untuk
putranya, Burhanuddin yang baru dikarunia anak.
Kitab ini mengandung hukum-hukum yang berkaitan dengan keadaan anak setelah dilahirkan, mulai dari mencukur rambut bayi, memberi nama, menghitan, air kencing bayi, melobangi telinga bayi perempuan, dan hukum-hukum pendidikan anak lainnya. Di dalamnya juga diterangkan tahapan-tahapan penciptaan, dari keadaanya sebagai sperma sampai menjadi penghuni surga atau neraka.[9] Ibnul Qayyim meletakkan 17 bab dalam kitab ini, salah satu babnya menjadi kajian penulis dalam makalah ini, yakni pada bab ke-15.

C.    Pembahasan kitab “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud” Bab Wajibnya Mendidik Anak-Anak Dengan Adab, Mengajari Mereka Serta Berbuat Adil di Antara Mereka”. Seperti perkataan Ibnul Qayyim,

البا ب الخا مس عشر
با ب فى وجوب تأديب الأولاد وتعليمهم والعدل بينهم

Kemudian Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menulis,

قال الله تعالى : (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ, وقودهاالناس والحجارة) قال على رضى الله عنه : علموهم وأدبوهم، وقال الحسن : مروهم بطا عة الله وعلموهم الخير.
وفى المسند وسنن أبى داود من حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "مرو أبناءكم بالصلاة لسبع ، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم فى المضاجع" ففى هذا الحديث ثلاثة آداب: أمرهم بها وضربهم عليها والتفريق بينهم فى المضاجع.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(QS. At-Tahrim: 6)

Berkata sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu terkait dengan makna ayat di atas, “ajarilah mereka dan didiklah mereka dengan adab.” Hasan Al-Bashri berkata perintahkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan ajarilah mereka kebaikan.[10]
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah didiklah dan ajarilah mereka.
Dari Abdullah bin Umar bahwa  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda

Semua kamu  adalah pemimpin dan  semua  kamu  bertanggung jawab atas  bawahannya. Seorang  laki-laki menjadi pemimpin di ruamahnya dan  bertanggung jawab  atas  anggota   keluarganya. Seorang  wanita (istri)  harus   menjaga rumah suaminya  dan  bertanggung jawab  atas segala  yang   ada   di  dalamnya.” Dalam  riwayat   Imam   Muslim dikatakan,  Wanita pemelihara rumah suama  dan  anak-anaknya. Ia bertanggung jawab atas  mereka.(HR. Bukhari dan Muslim)

Tarbiyah yang baik yang diperintahkan oleh Allah untuk diterapkan dalam membina keluarga menyimpan banyak  keberkahan dan manfaat nyata. Kebaikan tersebut kembali  kepada anak-anak, keluarga dan semua masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat.[11]
Pengaruhnya yang  baik di dunia yakni untuk kesalehan  dan  kemaslahatan hamba serta  kemakmuran  negeri  sudah  jelas.  Sementara  kebaikan yang   akan   didapat  di khirat terletak   pada   kebaikan yang mengalir pada catatan amal orang tua sebagai pendidik. Kebaikan   mereka   akan    terus    bertambah   dengan    hasil   tarbiyah tersebut.  Dengan melakukan  tarbiyah,  mereka akan  meningkat derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Manfaat yang  disebutkan  di atas akan  saling take  and  give dalam memberi manfaat antara bapak, Ibu dan  nenek  moyang   dengan  anak-cucu-keturunan.  Maksudnya, orang tua (bapak  dan  ibu) mendapat manfaat dari perbuatan baik anak-anak mereka. Demikiapula anak, cucu   dan   keturunan  akan   mendapat manfaat dari kesalehan orang tua.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Dan ayah  mereka  berdua adalah orang saleh.  (QS. 18: 82)

Ayat ini menunjukkan bahwa  seseorang dapat menjaga keturunannya di dunia berkat ketekunan ibadahnya dengan  penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka, dan  di akhirat dia mendapatkan derajat yang tinggi di dalam surga.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (QS. Al-Furqan:73)

Ketika Hasan Al-Bashriy ditanya tentang makna (قُرَّةَ أَعْيُنٍ) maka dia menjawab, “Maksudnya adalah Allah akan menjadikan keluarganya melakukan ketaantan kepada Allah. Tidak ada sesuatu yang paling disukai seorang muslim dari pada melihat keluarganya melakukan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”[12]
Kesejukan pandangan orang yang memandang mereka adalah bagian dari penghargaan terhadap para orang tua yang shalih, demikian pula ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengumpulkan para orang tua dan  anak-anak mereka di tempat penuh  rahmat dan  negeri kemuliaan,  yaitu surga. Sebagaimana firman Allah:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ 

dan orang-orang yang beriman beserta  anak  cucu mereka  yang mengikuti   mereka    dalam   keimanan,   Kami   pertemukan   mereka dengan    anak    cucu   mereka    (di   dalam  surga),   dan   Kami  tidak mengurangi sedikit pun  pahala amal (kebajikan)  mereka.   (QS. Ath-thur:21)

Tentang  manfaat anak keturunan bagi orang tua, telah diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Apabila  seorang  manusia meninggal dunia  maka  nilai pahala dari seluruh amalnya terputus, kecuali dari tiga perkara:  sedekah  jariah, ilmu  yang   bermanfaat  dan   anah   saleh   yang   mendoakan.   (HR. Muslim)

Tentang  saling memeberi  manfaat antara  anak   dan  orang  tua, Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ. سَلَامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

Dan  orang-orang  yang   sabar   karena  mengharap  keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan  menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka  secara sembunyi atau  terang- terangnan serta  menolak kejahatan dengan  kebaikan. Orang  itulah yang   mendapat  tempat  kesudahan  (yang  baik),  yaitu surga-surga 'Adn.   Mereka   masuk  ke  dalamnya beserta  orang-orang saleh  dari nenek    moyngnya,   pasangan-pasangannya,   dan   anak    sucunya. Sedang  para  malaikat masuk ke  tempat-tempat mereka  dari semua pintu. (simbul mengucapkan) "Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu." Maka  alangkah nikmatnya tempat  kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du:22-24)

Dalam  ayat  ini  terkandung  kabar  gembira  yang   akan menambahkan  kesenangan  dan   kebahagiaan   bagi   orang  yang   taat kepada  orang tua. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kabar gembira kepada orang yang masuk surga, bahwa semua keluarganya akan  hadir bersamanya.
Islam tidak membedakan antara laki-laki  dan  perempuan dalam pendidikan dan memberi kebaikan kepada  mereka. Sebaliknya Islam memberi   kesamaan   dan    keadilan    dalam   memberi   pahala   besar terhadap mereka. Oleh  karena pentingnya keturunan  yang  saleh  bagi  orang tua (ayah  dan  ibu) maka  hal itu menjadi  keinginan  dan  permohonan para nabi, sebagaimana permohonan Nabi Ibrahim dengan  ungkapannya:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
 Ya Tuhanku,    anugerahkan kepadaku (serang anak) yang termasuk orang-orang yang  saleh.  (QS. Ashaffat: 100)

Demikian pula Nabi Zakaria  dalam memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Yaa Tuhanku, berilah   aku     keturunan yang baik dari sisiMu. Sesungguhnya Engkau maha  mendengar do'a. (QS. 3: 38)

Semua  nabi dan  selain mereka yang disebutkan dalam al Quran memohon kepada  Allah agar  anak  cucu   mereka dijadikan  keturunan yang baik dan saleh.
Berdoa  merupakan sebab  yang  paling penting dan  besar manfaatnya.   Orang  yang   dimudahkan  untuk  berdoa   maka sesungguhnya telah  dibuka pintu kebaikan  yang  besar baginya. Allah tidak akan  menolak orang-orang memohon kepadaNya. Dalam hal ini, Umar berkata:  Sungguh aku   tidak memikirkan  dikabulkannya doa. Akan  tetapi, yang menjadi perhatianku adalah pentingnya berdoa.Maksudnya,  apabila  Allah  memberi  taufiq  kepadaku  untuk   berdoa maka  aku  yakin bahwa  Allah akan  mengabulkan doaku.
Ungkapan di  atas   termasuk   masalah  percaya   kepada   Allah, tentram  dengan   jaminanNya  dan  berbaik  sangka   kepadaNya, sebagaimana  Rasulullah saw.  menyuruh  kita untuk  berbaik  sangka kepada  Allah dalam sabdaNya: 

Seseorang  di antara kamu   tidak  boleh mati kecuali bersikap baik sangka kepada Allah.  (HR. Muslim)

Selajutnya Ibnu Qayyim dalam kitab tersebut kembali menukil hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam,[13]
 
 “perintahlanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika ia berumur 7 tahun, pukullah mereka jika mereka tidak shalat pada hal umur mereka telah 10 tahun, pisahkankanlah mereka (laki-laki dan perempuan) dari tempat tidur. (HR. Abu Dawud)

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa di dalam hadits di atas terdapat tiga bentuk adab:
1.           Perintah mengerjakan shalat.
Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat yang dilakukan oleh seseorang dalam rumahnya adalah lebih utama daripada shalat yang dilakukan di masjidku ini, kecuali shalat fardlu.” (HR. Abu Dawud)
         
Hadits di atas mendorong seseorang untuk melakukan shalat di rumah. Dengan melakukan shalat di rumah, berarti telah memberikan pendidikan yang kuat pada anak, karena mereka menyaksikan langsung orang tuanya meletakkan wajahnya di muka bumi untuk bersujud kepada Allah, berdiri khusyu, tidak melirik orang yang ada di sekitarnya, dan kesungguhan orang tuanya dalam beribadah.
          Pemandangan yang setiap hari berulang kali disaksikan  oleh anak akan menanamkan rasa keagungan Allah dalam diri anak. Secara bertahap anak akan mengakui kedudukan Allah Yang Mahatinggi. Pemandangan inipun akan mendorong anak untuk suka melakukan shalat karena ayahnya pun juga suka melakukannya, mereka juga mengenal gerakan-gerakan shalat seperti takbir, tukuk, sujud dan berdiri i’tidal.
          Metode yang demikian dikenal dengan metode pendidikan melalui pembiasaan. Setelah anak berusia 7 tahun orang tuanya harus mendorong dan menyuruhnya shalat. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا 
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.  (Thoha:132)

Perintah shalat disyariatkan setelah anak berusia 7 tahun. Sebelum anak berusia 7 tahun cukup dengan memberi contoh pelaksanaan shalat di hadapannya tanpa menyuruh sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
2.          Memukul jika tidak mengerjaka shalat.
Imam Abu Sulaiman al-Khaththabiy berkata, “ hadits ini menunjukkan betapa beratnya hukuman bagi  orang yang meninggalkan shalat jika telah mencapai akil balig. Sebagian sahabat Imam Syafi’i berhujjah dengan hadits ini dalam kaitannya dengan kewajiban membunuhnya. Mereka berkata,”Jika ia boleh dipukul padahal belum balig, maka ini menunjukkan bahwa setelah balig nanti ia harus dikenai hukuman yang lebih berat. Padahal tidak ada hukuman yang lebih berat setelah pukulan selain dibunuh.”[14]
3.           Memisahkan mereka dari tempat tidurnya.[15]
Memisahkan tempat tidur anak laki-laki dari anak perempuan ketika akan memasuki usia balig, adalah sangat penting. Dari ketentuan tersebut, mereka dapat mengetahui batasan-batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Demikian pula aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat luas.
Menurut penulis, terjadinya kerusakan akibat pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, berawal dari kurangnya perhatian orang tua dalam mengenalkan putra putri mereka tentang batasan pergaulan laiki-laki dan perempuan sejak dini.
Ibnu Qayyim kembali menukil hadis dari Abdullah bin Umar,

Berkata abdullah bin Umar, “ Ajarilah anakmu adab, karena sesungguhnya engkau bertanggungjawab atasnya, Terkait dengan adab dan ilmu apa saja yang telah engkau ajarkan kepadanya, sedangkan dia bertanggungjawab atas kebaikan dan ketaatan-ketaatannya padamu. (HR. Baihaqi dengan sanad yang baik)[16]

Pada hadits di atas, terdapat penjelasan yang berbeda antara adab dan ilmu.
1.         Adab
Menurut Ibnu Qayyim, kata adab merupakan himpunan dari beberapa hal. Jadi adab artinya kumpulan kebaikan yang ada pada diri seseorang. Ada pula kata ma’dabah, yang artinya makanan yang di kerumuni beberapa orang untuk dimakan. Sedangkan ilmu adab artinya ilmu yang mengatur kebaikan lisan, ucapan, membaguskan lafazh-lafadznya,  menjaganya dari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan, yang merupakan cabang dari adab secara umum.[17]
Lebih jauh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa adab dalam pembahasan ini ada tiga macam: adab bersama Allah, adab bersama Rasulullah dan syariatnya, adab bersama makhluk Allah.
Adab bersama Allah ada tiga macam:
1.      Menjaga mu’amalah dengan-Nya agar tidak dinodai kekurangan.
2.      Menjaga hati agar berpaling kepada selain-Nya.
3.      Menjaga kehendak agar tidak bargantung kepada sesuatu yang dibenci Allah.
Selanjutnya Ibnu Qayyim menyebutkan beberapa penjelasan adab dari para ulama, di antaranya adalah apa yang di katakan Abu ali Ad-Daqqaq bahwa dengan ketaatan kepada Allah, seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adab dia bisa mencapai ketaatan kepada Allah.’’ Dia juga pernah berkata, “aku pernah melihat seseorang yang hendak mengulurkan tangan ke arah hidungnya, namun kemudian dia mengurungkannya karena menjaga adab di hadapan Allah.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Siapa yang memelihara adab Allah, maka dia termasuk orang-orang yang dicintai Allah.”
Ibnul Mubarak berkata, “Adab yang sedikit lebih kami butuhkan daripada ilmu yang banyak.”
Al-Hasan Al-Bashry pernah ditanya tentang adab yang paling bermanfaat. Maka dia menjawab, “memahami agama, berzuhud di dunia dan mengetahui hak-hak Allah atas dirimu.”
Al-Junaid pernah berkata kepada Abu Hafsh, “Engkau telah mendidik rekan-rekanmu dengan adab para sultan. “maka abu Hafsh menyahut, “Adab yang baik secara zhahir merupakan tanda adab yang baik di dalam batin. Adab bersama Allah ialah kebersamaan yang baik dengan-Nya, menyelaraskan gerak zhahir dan batin berdasarkan pengagungan dan rasa malu, seperti suasana dalam pertemuan para raja di hadapan para punggawanya.”[18]
Menurut Abu Nashr As-Siraj seperti yang disebutkan Ibnu Qayyim, ada tiga tingkatan manusia dalam kaitannya dengan adab:
1.    Ahli dunia, yang adab mereka berkisar pada masalah kefasikan bicara, sastra bahasa, menjaga ilmu, nasab para raja dan syair-syair.
2.      Ahli agama, yang adabnya berkisar pada masalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga hukum dan meninggalkan nafsu dan syahwat.
3.    Yang bersifat khusus, yang adab mereka berkisar pada masalah mensucikan hati, memperhatikan hal-hal yang tersembunyi, memenuhi janji, menjaga waktu, membaguskan adab dan taqarrub.
An-Nawawi berkata, “siapa yang tidak memiliki adab waktu, maka waktunya akan menjadi kebencian,”
Perhatikanlah keadaan para rasul bersama Allah, seruan dan do’a mereka. Tentunya engkau akan mendapatkan, bahwa semua tindakan mereka tidak lepas dari adab.[19]
2.      Ilmu
Menurut Akhmad Alim, pada hakekatnya ilmu dan adab adalah dua hal yang saling terintegrasi, yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya ibarat sebuah koin yang tak terpisahkan, dimana kebermaknaan yang satu tergantung pada yang lainnya. Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah.  Dengan demikian ilmu dan adab harus bersinergi, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai (al-maghdhubi alaihim), sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan (al-Dhallin).[20]
Lebih dari itu kata Alim, ilmu dan adab adalah inti dari ilmu nafi’ yaitu  yang bermanfaat. Ilmu nafi’ ini adalah  ilmu yang pernah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar diminta dan dicari setiap saat. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman kepada Nabi-Nya,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, wahai Robbku tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thoha: 114)

Melalui ayat ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk senantiasa memohon kepada Allah tambahan ilmu yang bermanfaat. Ibn Uyainah berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak henti-hentinya memohon tambahan ilmu nafi’ kepada Allah sampai beliau wafat”. Ibn Katsir menambahkan, bahwa Rasulullah saw tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan apapun kecuali tambahan ilmu nafi’ ini, oleh karena itu Rasulullah saw senantiasa istiqamah melantunkan do’a ilmu nafi sebagaimana berikut ini :

عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي ، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي ، وَزِدْنِي عِلْمًا ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ  وَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ

Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah salallahu alaihi wasallam senantiasa membaca do’a : “ ya Allah berikanlah manfaat terhadap apa yang telah engkau jarkan kepadaku, dan ajari aku apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu, segala puji hanya milikmu atas segala keaadaan, dan aku berlindung dari perilaku ahli neraka”. (HR. Tirmidzi dan Bazzar)[21]

Ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’)  akan mendatangkan iman. Realisasi iman akan membawa pada amal shaleh. Integrasi keduanya akan membawa ke jalan yang lurus (sirath mustaqim). Dengan demikian, bila ilmu didapatkan akan  tetapi tidak diikuti dengan amal shaleh, bisa digolongkan kepada ilmu yang tidak bermanfaat (ghairu nafi’) dan bahkan termasuk dalam  perbuatan munafik atau seperti perbuatan  yahudi  yang dilaknat (al-maghdub alaihim).
Amal tanpa ilmu akan mendatangkan kesesatan sebagaimana orang-orang nasrani (al-dhallin). Inilah makna dari firman Allah :  Ihdinasshirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladhallin. (Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-arang yang telah engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang yang sesat). [22]
Ibnu Qayyim meletakkan satu sub bab (fasal) terkait dengan hak-hak anak dalam memperoleh keadilan ketika memberi dan atau menahan pemberian.
Beliau menukil satu hadits dari Imam baihaqi,
 
“Suatu ketika, seorang laki-laki duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak lama kemudian, anak laki-lakinya pun datang. Laki-laki itu mencium anak tersebut kemudian mendudukkannya di pankuannya. Kemudian anak perempuannya juga datang, laki-laki itu mengambilnya dan mendudukkannya di sampingnya. Melihat hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “kamu tidak berlaku adil di antara mereka berdua.”” (HR. Baihaqi)[23]

Hadits di atas menjelaskan pentingnya berlaku adil kepada anak, sekalipun dalam hal pemberian ciuman. Para salaf memiliki kebiasaan atau karakter, yaitu berlaku adil dalam memberkan ciuman kepada anak-anak mereka.
Rusaknya prilaku anak-anak, banyak dipengaruhi oleh perlakuan orang tua kepada mereka. Disadari atau tidak, banyak orang tua yang membiarkan anak-anaknya dalam kebebasan. Mereka tidak mendidiknya dengan pendidikan Islam dan tidak mengajarinya dengan adab Islam.
Banyak anak-anak kemudian tidak memberi manfaat terhadap dirinya, orang tua dan masyarakat. Bahkan sebaliknya, mereka terbiasa mendurhakai orang tuanya. Seakan-akan mereka berkata, “ini adalah hadiah bagi orang tua yang telah menyia-nyiakan anak-anaknya di masa kecilnya, maka sekarang kami menyia-niyakan kalian di saat kalian telah menjadi tua.”[24]
   



DAFTAR PUSTAKA


Al-Jauziyyah, Ibnu Al-Qoyyim, 2011, Ighatsatul Lahfan Min Masyayidisy Syaithan, Terjemahan, Solo: Al-Qowam.
______. 2004, Miftah Daarissa’adah-Kunci Kebahagiaan, Jakarta: Akbar.
______. 1998, Madarijus Salikin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
_______. 2005, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud,  Mesir: Darul Asar.
______. 1991, Noktah-noktah Hitam Senandung Setan, Jakarta: Darul Haq.
Agama, Departemen. 2005,  Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Al-Afraj, Muhammad bin Ali. 2009, Ziadatil Hanat Fii Tarbiyatil Banat.
Adz- Zahabi. 2007, Dosa-Dosa Besar, Solo: Pusta Arafah.
Alim, Akhmad. 2012, Studi Islam IV, Bogor: Pustaka Al-Bustami.
Farid,  Ahmad. 2006, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.






[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Miftah Daarissa’adah-Kunci Kebahagiaan,  Jakarta: Akbar, 2004, hlm. 3
[2] Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Ighatsatul Lahfan Min Masyayidisy Syaithan, Solo: Al-Qowam, 2011, hlm. ix
[3] Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Kunci Surga: Mencari Kebahagiaan Dengan Ilmu, hlm. 3
[4] Ibid, hal. 707
[5] Syikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, Hal. 822
[6] Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hal. 93
[7] Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Noktah-noktah Hitam Senandung Setan, Jakarta: Darul Haq, 1991, hal. 16
[8] Syikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 832
[9] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud,  Mesir: Darul Asar, 2005, hlm . 21
[10] Ibid,  hlm . 217
[11] Muhammad bin Ali al-Afraj, Ziadatil Hanat Fii Tarbiyatil Banat, 2009, hlm. 6
[12] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud,  hlm . 332
[13] Ibid, hlm . 328
[14]  Adz- Zahabi, Dosa-Dosa Besar, Solo: Pusta Arafah, 2007,  hlm. 39
[15]  Ibid.
[16] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud,   hlm . 331
[17] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Madarijus Salikin,   hlm. 279
[18] Ibid,  hlm. 280
[19] Ibid
[20]  Akhmad Alim, Studi Islam IV, Bogor: Pustaka Al-Bustami, 2012, hlm.  28
[21]  Ibid.
[22] Ibid
[23] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud,   hlm . 336
[24] Ibid, hlm .  337