KEWAJIBAN
MENDIDIK ANAK DENGAN ADAB DAN ILMU
SERTA BERBUAT
ADIL DI ANTARA MEREKA
(Studi Terhadap
Konsep Pendidikan Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah
(691-751 H) Dalam Kitab Tauhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud)
Oleh:
Misjaya
A. Pendahuluan
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, awalnya
pendidikan berlangsung secara sederhana, dengan masjid sebagai lembaga
pendidikan atau pusat pembelajaran. Al-Qur'an dan hadits sebagai kurikulum
utama dan Rasulullah sendiri berperan sebagai guru dalam proses pendidikan
tersebut.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat,
Islam terus berkembang. Kurikulum pendidikan yang awalnya terbatas pada
al-Qur'an
dan hadits berkembang dengan dimasukkannya ilmu-ilmu baru yang berasal
dari luar Jazirah Arab yang telah mengalami kontak dengan Islam baik dalam bentuk peperangan maupun dalam bentuk hubungan damai.
dan hadits berkembang dengan dimasukkannya ilmu-ilmu baru yang berasal
dari luar Jazirah Arab yang telah mengalami kontak dengan Islam baik dalam bentuk peperangan maupun dalam bentuk hubungan damai.
Perkembangan kegiatan kependidikan, pada masa klasik Islam telah
membawa Islam sebagai sebuah peradaban besar yang mempengaruhi kehidupan dunia saat itu. Permasalahan pun
muncul, ketikan generasi berikutnya kurang
memanfaatkan apa yang telah dicapai oleh para pendahulunya. Akibatnya prestasi
yang telah diraih oleh para ulama berupa ilmu pengetahuan dikuasai oleh Barat. Hal
tersebut disebabkan karena mereka mau mempelajari ilmu yang dimiliki oleh umat
Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya lebih lanjut. Pada akhirnya,
banyak sarjana muslim yang belajar ke barat.
Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan kaum muslimin.
Apalagi dengan munculnya segelintir orang yang menganggap dirinya cendekiawan
Muslim, tapi hakekatnya adalah perpanjangan tangan kaum sekularis. mereka
adalah sekumpulan orang yang terkooptasi oleh kekeliruan konsep barat
yang menghilangkan nilai ketuhanan (spiritual) dalam segala sisi
kehidupan termasuk ilmu dan pendidikan.
Berkaitan dengan permasalahan di atas penelusuran kembali terhadap
konsep atau pemikiran kependidikan yang berkembang di kalangan umat Islam pada
masa klasik sangat penting dan bermanfaat.
Pengkajian terhadap kitab klasik yang memuat pemikiran-pemikiran Ibnu
Quyyim al-Jauziyah (691-751), telah banyak dilakukan para pakar pendidikan dan
peneliti-peneliti lainnya di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut merupakan usaha yang perlu dilestarikan. Salah
satu tujuan penulisan makalah ini adalah mengeksplorasi pesan-pesan penting
yang terdapat dalam kitab “Tuhfatul Maudud
Biahkamil Maulud”. Kitab ini memuat materi pendidikan dari sebelum
kelahiran sampai mati (long life education).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah seorang guru besar yang mengkader
para ulama terkenal, seperti Al-Dzahaby (w.748H), Ibnu Katsir (w.774H), Ibnu
Rajab (w.795H). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menguasai berbagai macam disiplin ilmu,
sebagai mana yang telah diketahui oleh masyarakat luas lewat tulis-tulisannya.
Dalam penulisan ini, pemakalah hanya fokus pada bab “Wajibnya mendidik anak-anak dengan
adab, mengajari mereka serta berbuat adil di antara mereka” dalam
bukunya yang berjudul “Tuhfatul Maudud Bi
Ahkamil Maulud”.
B. Ibnu Qayyim dan kitabnya “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud”
1. Sekilas Tentang Ibnu Qoyyim[1]
Namanya adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin
Hariz bin Makki, Zainuddin Az-Zur’i Ad-Dimasqi Al-Hambali.
Nama kuniyah atau panggilannya adalah Abu Abdillah, sedang nama laqab
atau julukan atau gelarnya adalah Syamsuddin.
Dia dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyya yang diringkas
dengan nama Ibnu Qayyim, dan nama inilah yang dikenal dari pada sebutan Ibnu
Qayyim al-Jauziyya.
Bakar bin Ayyub Az-Zar’i
adalah Qayyim (kepala) madrasah Al-Jauziyyah[2] di Damaskus, demikianlah
keluarga dan keturunannya terkenal dengan sebutan tersebut dan salah satu dari
mereka terkenal atau biasa dipanggil dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyya.
Adapun Al-Jauzi adalah nisbat kepada sebua nama tempat di Bashrah.
Dan, ada yang mengatakan bahwa nama ini dinisbatkan kepada kepompong (ulat
sutra) dan penjualnya.
Bakar
Abu Zaid mengatakan, “kitab-kitab tarajum (biografi) sepakat mengatakan
bahwa kelahiran Ibnu Qayyim al-Jauziyya adalah pada tahun 691 Hijriyah.”
Muridnya
yang bernama Ash-Shafadi menuturkan bahwa kelahirannya secara tepat adalah pada
hari ke tujuh dibulan safar tahun 691 Hijriyah.
Pendapat
lain mengatakan Ibnu Qayyim al-Jauziyya dilahirkan pada tanggal 7 Shafar 691
Hijriyah[3] atau 4
februari 1292 M di sebuah desa pertanian yang disebut Hauran. Desa ini berada
sekitar 55 mil, sebelah tenggara kota Damaskus, Suriah. Kemudian ia merantau ke
Damaskus untuk mencari ilmu di sana.[4]
Para
ulama dalam menyebutkan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyya dan ayahnya adalah
mereka berdua berkebangsaan Az-Zar’i dan kemudian pindah ke Damasqus.
Dari
sini dapat diketahui bahwa istilah ini (aslinya berkebangsaan Az-Zar’i dan
kemudian pindah ke Damasqus) digunakan dengan maksud bahwa tempat kelahirannya
adalah tempat yang pertama sedang tempat yang kedua adalah tempah menetap mereka.
Namun,
bisa juga maksud mereka menggunakan istilah tersebut adalah bahwa ayah dan
nenek moyangnya berasal dari daerah pertama (Az-Zar’a) kemudian mereka pinda ke
tempat kedua (Damasqus).[5]
Walaupun dia mempunyai umur yang relatif singkat yaitu berkisar
enam puluh tahun namun waktu yang sesingkat itu dia telah membuktikan bahwa dia
adalah penuntut ilmu yang berhasil.
Guru-gurunya adalah: Ayahnya sendiri Abu Bakar bin Ayyub Qayyim
Al-Jauziyyah, Ibnu Abdiddaim, Ibnu Taimiyyah tetapi ia tidak jarang berbeda
pendapat dengan gurunya Ini, menurutnya siapa pun boleh berijtihad selama dia
memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam hal itu[6], Asy-Syihab Al-‘Abir, Ibnu
Asy-syirazi, al-Majd Al-Harrani, Ibnu Maktum, Al-Kullali, Al-Baha’ bin Asakir,
Al-Hakim Sulaiman Taqiyuddin Abu Al-Fadl bin Hamzah.
Juga, Syarafuddin bin Taimiyyah saudara Syaikhul Islam,
Al-Mutha’im, Fatimah binti Jauhar, Majduddin At-Tunisi, Al-Badar bin Jam’ah,
Abu Al-Fath Al-Ba’labaki, Ash-Shaf Al-Hindi, Az-Zamlakani, Ibnu Muflih,
Al-Mizzi.
Adapun murid-muridnya adalah: Al-Burhan bin al-Qayyim Al-Jauzi,
anaknya bernama burhanuddin, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, Syarafuddin Al-Qayyim,
anaknya bernama Abdullah bin muhammad, As-Subki, Ali bin Abdulkafi bin Ali bin
Tamam As-Subki, Adz-Dzahabi, Ibnu al-Hadi, An-Nablusi, Al-Ghazi dan Al-Fairuz
Abadi Al-Mukri.
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah
seorang yang pandai dalam masalah mazhab, seorang brilian, sering memberikan
fatwa, sering bersama Taqiyuddin bin Taimiyyah, pandai dalam ilmu-ilmu
keislaman, menguasai tentang tafsir yang tiada tandingannya, pandai dalam bidan
ushuluddin, hadits, maknah dan fikihnya serta rahasia-rahasia pengambilan
hukum.
Dia juga mahir dalam ilmu fikih dan ushul fikih, Sejak kecil
beliau telah belajar bahasa Arab[7], ilmu kalam, nahwu. Ia
juga pandai ilmu bigrafi, pandai dalam mencerna perkataan ahli sufi, isyarat
dan rahasia-rahasianya. Dalam bidang ilmu-ilmu di atas, dia sangat
menguasainya.
Ibnu katsir mengatakan, “Dia belajar hadits, konsen menuntut ilmu
dan pandai dalam beragam bidang ilmu, terutama dalam badang tafsir, hadits dan
ushul. Dia, ketika Ibnu Taimiyyah kembali dari mesir pada tahun 712 Hijriyah,
dialah orang yang selalu menyertainya sampai Ibnu Taimiyah wafat. Dari Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Qayyim menyerap ilmu, menggantikan sang guru mengajar sehingga
dia mendapatkan tambahan ilmu yang luar biasa banyaknya, sehingga
murid-muridnya pun banyak yang keluar masuk dari rumahnya siang maupun malam.
Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan, “Ibnu Qayyim adalah seorang yang
rajin beribadah dan melakukan tahajjud, seorang yang shalatnya panjang, banyak
dzikir dan sangat tinggi mahabbah (kecintaannya kepada Allah).
Ibn al-Qayyim meninggal pada malam kamis tanggal 13 rajab saat
berkumandang adzan shalat isya’ pada tahun 751 Hijriyah. Dia meninggal pada
usia yang ke 60 tahun. Jenazahnya dishalatkan pada hari berikutnya setelah
shalat dzuhur di masjid Al-Umawi, kemudian dishalati di masjid Jarah dan banyak
peziarah yang mengiringi upacara penguburannya.
Ibnu Katsir barkata, “yang mengiringi jenazahnya membludak.
Diikuti oleh para qadhi, para pejabat, orang-orang shaleh, baik yang khusus
maupun umum. Dan, orang-orang berebutan mengangkat peti jenezahnya.”
Ia dimakamkan di Damaskus di pekuburan Al-Bab Ash-Shagir di
samping makam kedua orang tuanya. Disebutkan oleh sebagian murid-muridnya,
bahwa sebelum meninggal dia bermimpi bertemu dengan Ibn Taimiyah
Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada sang syaikh tentang
tempatnya nanti. Dan, Ibn Taimiyah memberikan isyarat akan ketinggian tempatnya
nanti diatas tempat para pembesar ulama. Ibn Taimiyah lalu berkata kepadanya,
“Dan kamu sebentar lagi menyusul kami. Akan tetapi sekarang kamu berada
setingkat dengan Ibnu Khuzaimah.” Wallahu a’lam.[8]
Ia memiliki banyak tulisan (kitab) yang berkualitas tinggi, di
antaranya adalah kitab “Tuhfatul Maudud
Fii Ahkamil Maulud”.
2. Sekilas Tentang Kitab “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud”.
Ditulis
sebagai hadiah dari sang ayah, yakni Ibnu Qayyim untuk
putranya, Burhanuddin yang baru dikarunia anak. Kitab ini mengandung hukum-hukum yang berkaitan dengan keadaan anak setelah dilahirkan, mulai dari mencukur rambut bayi, memberi nama, menghitan, air kencing bayi, melobangi telinga bayi perempuan, dan hukum-hukum pendidikan anak lainnya. Di dalamnya juga diterangkan tahapan-tahapan penciptaan, dari keadaanya sebagai sperma sampai menjadi penghuni surga atau neraka.[9] Ibnul Qayyim meletakkan 17 bab dalam kitab ini, salah satu babnya menjadi kajian penulis dalam makalah ini, yakni pada bab ke-15.
putranya, Burhanuddin yang baru dikarunia anak. Kitab ini mengandung hukum-hukum yang berkaitan dengan keadaan anak setelah dilahirkan, mulai dari mencukur rambut bayi, memberi nama, menghitan, air kencing bayi, melobangi telinga bayi perempuan, dan hukum-hukum pendidikan anak lainnya. Di dalamnya juga diterangkan tahapan-tahapan penciptaan, dari keadaanya sebagai sperma sampai menjadi penghuni surga atau neraka.[9] Ibnul Qayyim meletakkan 17 bab dalam kitab ini, salah satu babnya menjadi kajian penulis dalam makalah ini, yakni pada bab ke-15.
C. Pembahasan kitab “Tuhfatul Maudud Biahkamil Maulud” Bab “Wajibnya Mendidik Anak-Anak Dengan Adab, Mengajari Mereka Serta Berbuat Adil di Antara Mereka”. Seperti perkataan Ibnul Qayyim,
البا ب الخا مس عشر
با ب فى وجوب تأديب الأولاد وتعليمهم والعدل
بينهم
Kemudian Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menulis,
قال
الله تعالى : (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ, وقودهاالناس والحجارة) قال على رضى
الله عنه : علموهم وأدبوهم، وقال الحسن : مروهم بطا عة الله وعلموهم الخير.
وفى
المسند وسنن أبى داود من حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده، قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : "مرو أبناءكم بالصلاة لسبع ، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا
بينهم فى المضاجع" ففى هذا الحديث ثلاثة آداب: أمرهم بها وضربهم عليها
والتفريق بينهم فى المضاجع.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ.
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(QS. At-Tahrim:
6)
Berkata
sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu terkait dengan makna ayat di atas,
“ajarilah mereka dan didiklah mereka dengan adab.” Hasan Al-Bashri berkata perintahkanlah
mereka untuk taat kepada Allah dan ajarilah mereka kebaikan.[10]
Ibnu
Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah didiklah dan ajarilah mereka.
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Semua kamu adalah pemimpin dan
semua kamu
bertanggung jawab atas bawahannya. Seorang
laki-laki menjadi pemimpin di ruamahnya dan bertanggung jawab
atas
anggota keluarganya. Seorang wanita (istri) harus menjaga rumah suaminya dan bertanggung jawab atas segala yang ada di dalamnya.” Dalam riwayat Imam Muslim dikatakan, “Wanita pemelihara rumah suama dan anak-anaknya. Ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tarbiyah yang baik yang diperintahkan oleh Allah untuk diterapkan dalam membina
keluarga menyimpan
banyak keberkahan dan manfaat nyata. Kebaikan tersebut
kembali kepada
anak-anak, keluarga dan
semua
masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat.[11]
Pengaruhnya yang baik di dunia yakni untuk kesalehan dan
kemaslahatan hamba serta kemakmuran negeri sudah jelas. Sementara kebaikan yang akan didapat di khirat terletak pada kebaikan yang mengalir pada catatan amal orang tua sebagai pendidik. Kebaikan mereka akan terus bertambah dengan hasil tarbiyah tersebut. Dengan melakukan tarbiyah, mereka akan meningkat derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Manfaat yang disebutkan di atas akan
saling take
and
give dalam memberi manfaat antara bapak, Ibu dan
nenek
moyang dengan anak-cucu-keturunan. Maksudnya, orang tua (bapak dan ibu) mendapat manfaat dari perbuatan baik anak-anak mereka. Demikian pula anak, cucu dan keturunan akan mendapat manfaat dari kesalehan orang tua.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Dan ayah mereka
berdua adalah orang saleh.” (QS. 18: 82)
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang dapat menjaga keturunannya di dunia berkat ketekunan ibadahnya dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka, dan di akhirat dia mendapatkan derajat yang tinggi di dalam
surga.
رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
"Ya
Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami). (QS.
Al-Furqan:73)
Ketika
Hasan Al-Bashriy ditanya tentang makna (قُرَّةَ
أَعْيُنٍ) maka
dia menjawab, “Maksudnya adalah Allah akan menjadikan keluarganya melakukan
ketaantan kepada Allah. Tidak ada sesuatu yang paling disukai seorang muslim
dari pada melihat keluarganya melakukan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”[12]
Kesejukan pandangan orang
yang memandang mereka adalah bagian dari penghargaan terhadap para orang tua yang shalih, demikian pula ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengumpulkan para orang tua dan
anak-anak mereka di tempat penuh rahmat dan
negeri kemuliaan, yaitu surga. Sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم
مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ
“dan orang-orang yang beriman
beserta
anak cucu mereka
yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
pertemukan mereka dengan
anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.” (QS. Ath-thur:21)
Tentang manfaat anak
keturunan bagi orang tua, telah diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia maka nilai pahala dari seluruh amalnya terputus, kecuali dari tiga perkara: sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat dan anah saleh yang mendo’akan.” (HR. Muslim)
Tentang saling memeberi manfaat antara anak dan
orang tua, Allah Suhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ
وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ
عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ
وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ
وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ. سَلَامٌ عَلَيْكُم
بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ
عُقْبَى الدَّارِ
“Dan orang-orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau terang- terangnan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang
itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), yaitu surga-surga 'Adn.
Mereka masuk ke dalamnya beserta orang-orang saleh
dari nenek
moyngnya, pasangan-pasangannya, dan anak sucunya. Sedang para
malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu. (simbul mengucapkan) "Selamat
sejahtera atasmu karena kesabaranmu." Maka
alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du:22-24)
Dalam
ayat ini terkandung kabar gembira
yang akan menambahkan kesenangan dan kebahagiaan bagi orang yang taat
kepada orang tua. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kabar gembira kepada
orang yang masuk surga, bahwa semua
keluarganya akan
hadir bersamanya.
Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dan memberi kebaikan kepada
mereka. Sebaliknya Islam memberi kesamaan dan keadilan dalam memberi pahala besar terhadap mereka. Oleh karena pentingnya keturunan yang saleh bagi orang tua (ayah dan
ibu) maka
hal itu menjadi keinginan dan
permohonan para nabi, sebagaimana permohonan Nabi Ibrahim dengan
ungkapannya:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku (serang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ashaffat:
100)
Demikian pula Nabi
Zakaria dalam memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قَالَ
رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ
إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Yaa Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisiMu. Sesungguhnya Engkau maha mendengar do'a.” (QS. 3: 38)
Semua nabi dan
selain mereka yang disebutkan dalam al Qur’an memohon kepada
Allah agar anak
cucu mereka dijadikan keturunan yang baik dan saleh.
Berdo’a merupakan sebab yang paling penting dan
besar manfaatnya. Orang yang dimudahkan untuk
berdo’a maka sesungguhnya telah dibuka pintu kebaikan yang besar baginya. Allah tidak akan menolak orang-orang memohon kepadaNya. Dalam hal ini, Umar berkata: “Sungguh aku tidak memikirkan dikabulkannya do’a. Akan tetapi, yang menjadi perhatianku adalah pentingnya berdo’a.” Maksudnya,
apabila Allah memberi
taufiq
kepadaku
untuk berdo’a maka
aku
yakin bahwa Allah akan
mengabulkan do’aku.
Ungkapan di atas termasuk masalah percaya kepada Allah, tentram dengan jaminanNya dan
berbaik sangka
kepadaNya, sebagaimana Rasulullah saw.
menyuruh kita untuk berbaik sangka kepada Allah dalam sabdaNya:
“Seseorang di antara kamu tidak
boleh mati kecuali bersikap baik sangka kepada
Allah.” (HR. Muslim)
Selajutnya
Ibnu Qayyim dalam kitab tersebut kembali menukil hadits
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam,[13]
“perintahlanlah anak-anak kalian untuk
mengerjakan shalat ketika ia berumur 7 tahun, pukullah mereka jika mereka tidak
shalat pada hal umur mereka telah 10 tahun, pisahkankanlah mereka (laki-laki
dan perempuan) dari tempat tidur. (HR. Abu Dawud)
Ibnu
Qayyim mengatakan bahwa di dalam hadits di atas terdapat tiga bentuk adab:
1.
Perintah mengerjakan shalat.
Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat yang dilakukan oleh seseorang dalam rumahnya adalah lebih
utama daripada shalat yang dilakukan di masjidku ini, kecuali shalat fardlu.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits di
atas mendorong seseorang untuk melakukan shalat di rumah. Dengan melakukan
shalat di rumah, berarti telah memberikan pendidikan yang kuat pada anak,
karena mereka menyaksikan langsung orang tuanya meletakkan wajahnya di muka
bumi untuk bersujud kepada Allah, berdiri khusyu, tidak melirik orang yang ada
di sekitarnya, dan kesungguhan orang tuanya dalam beribadah.
Pemandangan yang setiap hari berulang kali disaksikan oleh anak akan menanamkan rasa keagungan
Allah dalam diri anak. Secara bertahap anak akan mengakui kedudukan Allah Yang
Mahatinggi. Pemandangan inipun akan mendorong anak untuk suka melakukan shalat
karena ayahnya pun juga suka melakukannya, mereka juga mengenal gerakan-gerakan
shalat seperti takbir, tukuk, sujud dan berdiri i’tidal.
Metode yang demikian dikenal dengan metode pendidikan
melalui pembiasaan. Setelah anak berusia 7 tahun orang tuanya harus mendorong
dan menyuruhnya shalat. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. (Thoha:132)
Perintah
shalat disyariatkan setelah anak berusia 7 tahun. Sebelum anak berusia 7 tahun
cukup dengan memberi contoh pelaksanaan shalat di hadapannya tanpa menyuruh
sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
2.
Memukul jika tidak mengerjaka shalat.
Imam Abu Sulaiman
al-Khaththabiy berkata, “ hadits ini menunjukkan betapa beratnya hukuman
bagi orang yang meninggalkan shalat jika
telah mencapai akil balig. Sebagian sahabat Imam Syafi’i berhujjah dengan
hadits ini dalam kaitannya dengan kewajiban membunuhnya. Mereka berkata,”Jika
ia boleh dipukul padahal belum balig, maka ini menunjukkan bahwa setelah balig
nanti ia harus dikenai hukuman yang lebih berat. Padahal tidak ada hukuman yang
lebih berat setelah pukulan selain dibunuh.”[14]
3.
Memisahkan mereka dari tempat tidurnya.[15]
Memisahkan tempat tidur
anak laki-laki dari anak perempuan ketika akan memasuki usia balig, adalah
sangat penting. Dari ketentuan tersebut, mereka dapat mengetahui
batasan-batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Demikian pula
aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat luas.
Menurut penulis,
terjadinya kerusakan akibat pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, berawal
dari kurangnya perhatian orang tua dalam mengenalkan putra putri mereka tentang
batasan pergaulan laiki-laki dan perempuan sejak dini.
Ibnu Qayyim kembali menukil hadis dari Abdullah bin Umar,
Berkata abdullah
bin Umar, “ Ajarilah anakmu adab, karena sesungguhnya engkau bertanggungjawab
atasnya, Terkait dengan adab dan ilmu apa saja yang telah engkau ajarkan
kepadanya, sedangkan dia bertanggungjawab atas kebaikan dan
ketaatan-ketaatannya padamu. (HR. Baihaqi dengan sanad yang baik)[16]
Pada
hadits di atas, terdapat penjelasan yang berbeda antara adab dan ilmu.
1.
Adab
Menurut
Ibnu Qayyim, kata adab merupakan himpunan dari beberapa hal. Jadi adab artinya
kumpulan kebaikan yang ada pada diri seseorang. Ada pula kata ma’dabah, yang artinya makanan yang di
kerumuni beberapa orang untuk dimakan. Sedangkan ilmu adab artinya ilmu yang
mengatur kebaikan lisan, ucapan, membaguskan lafazh-lafadznya, menjaganya dari kesalahan-kesalahan dan
kekeliruan, yang merupakan cabang dari adab secara umum.[17]
Lebih
jauh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa adab dalam pembahasan ini ada tiga macam: adab
bersama Allah, adab bersama Rasulullah dan syariatnya, adab bersama makhluk
Allah.
Adab
bersama Allah ada tiga macam:
1. Menjaga mu’amalah dengan-Nya agar tidak
dinodai kekurangan.
2. Menjaga hati agar berpaling kepada selain-Nya.
3. Menjaga kehendak agar tidak bargantung kepada
sesuatu yang dibenci Allah.
Selanjutnya Ibnu Qayyim menyebutkan beberapa penjelasan adab dari para
ulama, di antaranya adalah apa yang di katakan Abu ali Ad-Daqqaq bahwa dengan
ketaatan kepada Allah, seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adab dia
bisa mencapai ketaatan kepada Allah.’’ Dia juga pernah berkata, “aku pernah
melihat seseorang yang hendak mengulurkan tangan ke arah hidungnya, namun
kemudian dia mengurungkannya karena menjaga adab di hadapan Allah.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Siapa yang memelihara adab Allah, maka dia
termasuk orang-orang yang dicintai Allah.”
Ibnul Mubarak berkata, “Adab yang sedikit lebih kami butuhkan daripada
ilmu yang banyak.”
Al-Hasan Al-Bashry pernah ditanya tentang adab yang paling bermanfaat.
Maka dia menjawab, “memahami agama, berzuhud di dunia dan mengetahui hak-hak
Allah atas dirimu.”
Al-Junaid pernah berkata kepada Abu Hafsh, “Engkau telah mendidik
rekan-rekanmu dengan adab para sultan. “maka abu Hafsh menyahut, “Adab yang
baik secara zhahir merupakan tanda adab yang baik di dalam batin. Adab bersama
Allah ialah kebersamaan yang baik dengan-Nya, menyelaraskan gerak zhahir dan
batin berdasarkan pengagungan dan rasa malu, seperti suasana dalam pertemuan
para raja di hadapan para punggawanya.”[18]
Menurut Abu Nashr As-Siraj seperti yang disebutkan Ibnu Qayyim, ada tiga
tingkatan manusia dalam kaitannya dengan adab:
1. Ahli dunia, yang adab mereka berkisar pada
masalah kefasikan bicara, sastra bahasa, menjaga ilmu, nasab para raja dan
syair-syair.
2.
Ahli agama, yang
adabnya berkisar pada masalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga
hukum dan meninggalkan nafsu dan syahwat.
3. Yang bersifat khusus, yang adab mereka
berkisar pada masalah mensucikan hati, memperhatikan hal-hal yang tersembunyi,
memenuhi janji, menjaga waktu, membaguskan adab dan taqarrub.
An-Nawawi berkata, “siapa yang tidak memiliki adab waktu, maka waktunya
akan menjadi kebencian,”
Perhatikanlah keadaan para
rasul bersama Allah, seruan dan do’a mereka. Tentunya engkau akan mendapatkan,
bahwa semua tindakan mereka tidak lepas dari adab.[19]
2.
Ilmu
Menurut Akhmad Alim, pada hakekatnya ilmu dan adab adalah dua hal
yang saling terintegrasi, yang saling menguatkan antara satu dengan yang
lainnya. Keduanya ibarat sebuah koin yang tak terpisahkan, dimana kebermaknaan
yang satu tergantung pada yang lainnya. Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa
buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah. Dengan demikian ilmu dan adab harus bersinergi,
tidak boleh dipisah-pisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai (al-maghdhubi
alaihim), sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan (al-Dhallin).[20]
Lebih dari itu kata Alim, ilmu dan
adab adalah inti dari ilmu nafi’ yaitu
yang bermanfaat. Ilmu nafi’ ini adalah ilmu yang pernah diperintahkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar diminta dan
dicari setiap saat. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman kepada Nabi-Nya,
وَقُلْ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, wahai Robbku tambahkanlah ilmu kepadaku.”
(QS. Thoha: 114)
Melalui ayat ini, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk senantiasa memohon kepada Allah
tambahan ilmu yang bermanfaat. Ibn Uyainah berkata : “ Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak henti-hentinya memohon tambahan ilmu nafi’
kepada Allah sampai beliau wafat”. Ibn Katsir menambahkan, bahwa Rasulullah saw
tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan apapun kecuali tambahan ilmu
nafi’ ini, oleh karena itu Rasulullah saw senantiasa istiqamah melantunkan do’a
ilmu nafi sebagaimana berikut ini :
عنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا
عَلَّمْتَنِي ، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي ، وَزِدْنِي عِلْمًا ، وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah salallahu
alaihi wasallam senantiasa membaca do’a : “ ya Allah berikanlah manfaat
terhadap apa yang telah engkau jarkan kepadaku, dan ajari aku apa yang
bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu, segala puji hanya milikmu atas
segala keaadaan, dan aku berlindung dari perilaku ahli neraka”. (HR.
Tirmidzi dan Bazzar)[21]
Ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’) akan mendatangkan iman. Realisasi iman akan
membawa pada amal shaleh. Integrasi keduanya akan membawa ke jalan yang lurus (sirath
mustaqim). Dengan demikian, bila ilmu didapatkan akan tetapi tidak diikuti dengan amal shaleh, bisa
digolongkan kepada ilmu yang tidak bermanfaat (ghairu nafi’) dan bahkan
termasuk dalam perbuatan munafik atau
seperti perbuatan yahudi yang dilaknat (al-maghdub alaihim).
Amal tanpa ilmu akan mendatangkan
kesesatan sebagaimana orang-orang nasrani (al-dhallin). Inilah
makna dari firman Allah : Ihdinasshirathal mustaqim, shirathalladzina
an’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladhallin. (Ya Allah tunjukkan
kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-arang yang telah engkau beri nikmat,
bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang yang sesat). [22]
Ibnu Qayyim meletakkan satu sub bab
(fasal) terkait dengan hak-hak anak dalam memperoleh keadilan ketika memberi
dan atau menahan pemberian.
Beliau menukil satu hadits dari Imam baihaqi,
“Suatu ketika, seorang laki-laki duduk bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak lama kemudian, anak laki-lakinya pun
datang. Laki-laki itu mencium anak tersebut kemudian mendudukkannya di
pankuannya. Kemudian anak perempuannya juga datang, laki-laki itu mengambilnya
dan mendudukkannya di sampingnya. Melihat hal tersebut, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “kamu tidak berlaku adil di antara mereka berdua.””
(HR. Baihaqi)[23]
Hadits di atas
menjelaskan pentingnya berlaku adil kepada anak, sekalipun dalam hal pemberian
ciuman. Para salaf memiliki kebiasaan atau karakter, yaitu berlaku adil dalam
memberkan ciuman kepada anak-anak mereka.
Rusaknya prilaku
anak-anak, banyak dipengaruhi oleh perlakuan orang tua kepada mereka. Disadari
atau tidak, banyak orang tua yang membiarkan anak-anaknya dalam kebebasan.
Mereka tidak mendidiknya dengan pendidikan Islam dan tidak mengajarinya dengan
adab Islam.
Banyak
anak-anak kemudian tidak memberi manfaat terhadap dirinya, orang tua dan
masyarakat. Bahkan sebaliknya, mereka terbiasa mendurhakai orang tuanya.
Seakan-akan mereka berkata, “ini adalah hadiah bagi orang tua yang telah
menyia-nyiakan anak-anaknya di masa kecilnya, maka sekarang kami menyia-niyakan
kalian di saat kalian telah menjadi tua.”[24]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyyah, Ibnu Al-Qoyyim,
2011, Ighatsatul Lahfan Min Masyayidisy Syaithan, Terjemahan, Solo:
Al-Qowam.
______.
2004, Miftah Daarissa’adah-Kunci Kebahagiaan, Jakarta: Akbar.
______.
1998, Madarijus Salikin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
_______. 2005, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud, Mesir: Darul Asar.
______.
1991, Noktah-noktah Hitam Senandung Setan, Jakarta: Darul Haq.
Agama,
Departemen. 2005, Ensiklopedia Islam
di Indonesia, Jakarta : CV. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Al-Afraj,
Muhammad bin Ali. 2009, Ziadatil Hanat
Fii Tarbiyatil Banat.
Adz- Zahabi.
2007, Dosa-Dosa Besar, Solo: Pusta Arafah.
Alim, Akhmad. 2012, Studi Islam IV, Bogor: Pustaka
Al-Bustami.
Farid, Ahmad. 2006, 60 Biografi Ulama Salaf,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Miftah Daarissa’adah-Kunci
Kebahagiaan, Jakarta: Akbar, 2004,
hlm. 3
[2]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Ighatsatul Lahfan Min Masyayidisy Syaithan,
Solo: Al-Qowam, 2011, hlm. ix
[3]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Kunci Surga: Mencari Kebahagiaan Dengan Ilmu,
hlm. 3
[4] Ibid,
hal. 707
[5]
Syikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006, Hal. 822
[6]
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2005, hal. 93
[7]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyya, Noktah-noktah Hitam Senandung Setan, Jakarta:
Darul Haq, 1991, hal. 16
[8]
Syikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 832
[9] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud, Mesir: Darul Asar, 2005, hlm . 21
[10] Ibid, hlm . 217
[11] Muhammad bin
Ali al-Afraj, Ziadatil Hanat Fii
Tarbiyatil Banat, 2009, hlm. 6
[12] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul
Maudud bi Ahkami Al-Maulud, hlm .
332
[13] Ibid,
hlm . 328
[14] Adz- Zahabi, Dosa-Dosa Besar, Solo:
Pusta Arafah, 2007, hlm. 39
[15] Ibid.
[16] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud, hlm . 331
[17] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Madarijus Salikin, hlm. 279
[18] Ibid, hlm. 280
[19] Ibid
[20] Akhmad Alim, Studi Islam IV, Bogor:
Pustaka Al-Bustami, 2012, hlm. 28
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al-Maulud, hlm . 336
[24] Ibid,
hlm . 337